Tingkat Percaya VS Tingkat Menerima

Tulisan ini hanya ulasan singkat mengenai tingkat percaya dan tingkat menerima yang dimiliki seseorang. Tingkat percaya bersifat kritis dan mudah cidera [luka] bahkan bisa menjadi gugur percayanya atau menjadi tidak percaya lagi [runtuh]. Sedangkan tingkat menerima bersifat luas lagi tidak mudah cidera [luka], namun demikian akan menjadi bumerang bila tidak dapat menerimanya atau tidak terima. Tingkat percaya seseorang bisa saja diberikan kepada barang/jasa [layanan] dan dapat juga kepada orang lain. Sedangkan tingkat menerima seseorang akan disandarkan kepada wadahnya [dada/sudur] dengan sifatnya yang khas yaitu luas atau sempit di dalam menerimanya.

Tingkat Percaya

Terhadap barang/jasa [layanan], tingkat percaya seseorang akan sangat bergatung sekali dengan kepuasan yang diterima. Sebanding atau lebih [untung] dari nilai tukar yang dikeluarkan untuk barang/jasa [layanan] yang bersangkutan. Jika tak sebanding atau kurang [rugi] akan berakibat pada cidera/runtuhnya percaya pada barang/jasa [layanan] terkait.

Biasanya seseorang yang tingkat percayanya tinggi / rendah [puas / tidak puas] terhadap barang / jasa [layanan] akan secara langsung mengkomentari [memberi tahu orang lain] rasa puas dan tidak puasnya itu, yang dapat berakibat pada meningkatnya percaya atau runtuhnya percaya seseorang kepada barang/jasa [layanan] itu.

Sedangkan kepada seseorang, tingkat percaya dapat didasarkan kepada sidik [jujur / bersih dari tindak keji dan munkar], amanah [tindakannya jujur / bersih terhadap amanah yang diembannya], tablig [penyampaiannya jelas / yang sulit jadi mudah] dan fathonah [cerdas dalam menyelesaikan tugas & masalah bila ada].

Tingkat percaya seseorang dapat diciderai oleh prilaku diri yang busuk seperti kizib [dusta / tidak jujur], khianat [ingkar / tidak bersih dalam mengemban tugas / amanah], kitman [penyampaiannya menutupi / pemutar balik “salah jadi benar dan benar jadi salah”], baladah [bodoh / tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik / bermasalah]. Jika dibiarkan sifat-sifat tersebut dapat berimbas kepada runtuhnya tingkat percaya seseorang sekaligus menjerumuskan diri dalam kenistaan.

Tingkat percaya seseorang kepada seseorang pun dapat diciderai oleh pihak ketiga melalui hembusan iri, dengki dan fitnah.

Lalu bagaimana, jika tingkat percaya seseorang dihubungkan dengan percaya kepada Tuhan? Apakah kondisinya tetap kritis atau tidak? Dan mengapa ada orang yang tidak percaya adanya Tuhan?. [perlu dikaji lebih lanjut]. Dimanakah letaknya percaya itu, di otak atau di dada? Samakah Iman dengan Percaya? Silahkan pertanyaan-pertanyaan ini dijawab saja masing-masing supaya lebih mengena dan sesuai dengan pengalamannya yang dialami.

Tingkat Menerima

Tingkat menerima dengan wadah yang sempit akan berakibat pada meluapnya marah, kesal, juengkel dan seterusnya singkatnya EMOSI meluap dan meledak-letak dapat berbentuk verbalisasi maupun aksi yang tidak terkontrol. Ini disebabkan karena wadah menerimanya sempit alias tidak menerima alias menolak menerima alias TIDAK TERIMA. Dan kalau sudah tidak terima kaya gini buntutnya bisa jadi bakal lebih panjang lagi. Bakal ada adu hebat, bakal ada adu kuat, dan bakal ada yang tidak terima lagi, bahkan bisa sampai turun-temurun tidak terimanya.

Sedangkan tingkat menerima dengan wadah yang luas ini tidak mudah untuk diciderai oleh yang diterimanya itu. Seperti dikasih sedikit diterima, dikasih banyak diterima, tidak dikasih diterima, diberi cacian diterima, dikasih hinaan diterima, dan dikasih apapun sama Yang Maha Pengasih diterima dengan keluasan dada sang penerima itu.

Sang penerima yang bisa menerima segala Pemberian Tuhan ini, sejatinya tidak lagi melihat awannya, tetapi yang dilihatnya adalah yang menggerakkan awan itu, yang menggerakkan hidup itu dan ketika gerak itu semakin nyata maka “inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”, yang asalnya pemberian Allah akan kembali kepada Allah. Dan inilah sabar, sabar yang sulit untuk urai menjadi kata-kata, kecuali dirasakan sendiri realitasnya.

[Al Baqarah:155-156]
[155] Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. [156] (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun”.

BOOKSearch: BEST SELLER BOOKS AND HOT NEW RELEASES? monggo :) KLIK DISINI (:   ««  Cara mudah cari referensi pustaka

Related Post



7 Komentar:

Much Tohar mengatakan...

Percaya sebatas penglihatan maka akan menipu seperti halnya fatamorgana dan memang matapun cenderung menipu kalau hanya yang dilihat adalah bungkusnya. Ada paribasa "melihat tetapi bukan mata" dan mendengar tetapi bukan telinga. Semua itu hanyalah alat dan ada esensi lain yg sebenarnya melihat. Percaya harus ditujukan kepada ALLAH dengan demikian maka ALLAH lah yang akan mengarahkan sendiri kepercayaan itu.Seperti halnya percaya bagi saudara penganut "Marxisme" yg hanya mengandalkan akal ataupun otak maka jadilah atheisme, alias tidak percaya akan yang tidak kelihatan,yang tidak berwujud yaitu ALLAH. Akal cenderung penuh dengan hitungan matematis alias untung dan rugi misal 1+1 = 2, tetapi ketika 1+1 = 0 maka keluarnya adalah "derita" atau emosi dsb. Kalau mau terlepas dari area itu,maka berpindahlah ke ruangan yg lain yaitu hati (qolbu)dimana sdh tidak ada arena matematis atau untung dan rugi.

Bisa juga mengatakan percaya kepada ALLAH adalah gila karena percaya pada suatu yang tidak kelihatan. Iya, itulah kenyataanya karena memang tidak butuh logika. Cinta juga tidak kelihatan tp banyak orang menjadi gila dengan cinta ini.

Agama juga bisa dilogika tentunya bagi yang mau mengkajinya dengan pikiran yang bersih dan hati yang bersih. Semua berpaling kepada setiap diri ini. Iya tergantung pada diri sendiri.

Mohon maaf abdul kalau kurang pas.

abdul mengatakan...

Kata “percaya” bersifat umum dan mengambang bebas [kritis dan mudah cidera] bahkan bisa menjadi gugur percayanya atau menjadi tidak percaya lagi [runtuh]. Dapat dipergunakan diberbagai ranah, yang materi atau imateri. Kalau materi perlu bukti untuk sampai kepada tingkat percaya, sedangkan yang imateri mungkin tanpa bukti pun seseorang wajib/bisa percaya Tuhan itu ada dalam agama [apapun]. Walaupun bukti2 itu ada, namun tetap saja bagi seorang ateis [tidak percaya Tuhan], sedangkan bagi orang2 percaya Tuhan, Tuhannya bisa berganti.

Belajar dari kasus2 yang terjadi. Bahwa ada orang2 yang “percaya kepada Tuhan”, namun percayanya [runtuh] dan membangun kembali untuk “percaya kepada Tuhan” lainnya [pindah agama].

Menyikapi realiatas kasus diatas, mengundang tanya. [Yang runtuh itu iman atau percaya?]. jika pertanyaannya terjawab, maka terjawab pula pertanyaan. [Samakah Iman dengan Percaya?

Much Tohar mengatakan...

Iman adalah "percaya" dan karena sudah percaya maka akan berlanjut lagi ke tahap berikutnya alias menjalankan iman tersebut.

Yang runtuh adalah "percaya", karena percaya belum tentu mengimani sedang mengimani pasti percaya.Contoh aku percaya sama Tuhan, tp dalam keseharian ya biasa saja, masih suka mabuk dsb.

Lain dengan iman. Aku beriman kepada ALLAH, karena aku sudah beriman, mengakui, mengamini, maka aku harus menjalankan perintah dan menjauhi larangannya. Dari iman inilah lahir amanah dan amanah harus dijaga,dirawat, dipelihara dengan sebaik-baiknya.

abdul mengatakan...

Para akhirnya titik temu air akan ke air juga, sedangkan yang bukan titik temu adalah rahmat-Nya.

Beriman tak sekedar percaya. Beriman itu ada yang diterima, ada rasa, ada tahu [mengerti] yang dapat membedakan rasa-rasa itu [luas/sempit]. dan iman itu merupakan buah pengabdian kepada-Nya yang sungguh2 lagi teguh.

Namanya juga kasih merasakan nikmatnya rasa buah, masa sih tidak bisa membedakan, mana yang rasa buah dan mana yang bukan rasa buah?

Saat diri lalai dan merasakan yang bukan buah [bukan rasa iman] maka ia pun langsung ingat Allah [diingatkan Allah], dan dengan cepat pula Allah merasakan rasa buah [rasa iman] itu kepada yang mengingat-Nya.

asoka mengatakan...

... bukan beriman kalau tidak ada ilmunya... kalau sekadar percaya saja tanpa ada ilmunya disebut taqlid... nama panjangnya: taqlid buta:)
ilmu dalam keyakinan merupakan tahap awal... untuk selanjutnya menyaksikan... terus merasakan kebenarannya...
nah minimal ada 6 rukun iman, yang harus diyakini dengan tahapan ilmul, ainul, dan haqul-nya...
memang membuka tutup kendi agar air di dalam bersatu dengan air di danau hanyalah semata-mata karena rahmat Allah sajalah... :)

abdul mengatakan...

ilmu dalam keyakinan merupakan:
tahap awal keberimanan.
terus merasakan manisnya iman.
lalu menyaksikan kebenaran yang diimaninya.

iman ibarat gerak [getar] [nyambung] [online].
menggerakkan air diluar & didalam kendi.
seperti kendi berisi air di dalam danau.

keluarnya air dari dalam kendi
nembus lewat pori-pori kendi
& bersatu dengan air danau
karena si kendi
bersedia:
menerima gerak [getar] [nyambung] [online] Allah
menerima tuntunan & bimbingan Allah [alqur’an]
dst., ……
semata-mata karena rahmat Allah.

Davidfern mengatakan...

wedew, komennya gak sekedar komen nih ...salut. :p
terus berjuang detak hidup !!

Posting Komentar

 
 

POPULAR Detak Hidup

KOMEN Detak Hidup

BACA Detak Hidup

 

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner