Berqurban selalu identik dengan makna yang simbolik. Mungkin karena sejarah mencatatnya sebagai kejadian yang luarbiasa simboliknya sehingga kita ikuti sunnahnya nabi Ibrahim melalui simbol-simbol tersebut untuk berqurban, seperti beliau menyerahkan segala yang milikinya, mengqurbankan (mendekatkan) jiwanya, hingga sang Aku nya dekat dengan Sang Maha Tunggal, AHAD, bahkan lebih dekat dari urat lehernya, dan terus… sampai sang akunya tiada, fana, yang ada hanya Allah maha besar yang meliputi segala sesuatu.
Berada dalam suasana kebesaran Allah, sontak takbirnya meluncur memuji kebesaran-Nya Allahu Akbar. Maka, terlepaslah akar rasa cinta itu dari lubuk hati, terputuslah urat-urat nadi cintanya yang menjerat jiwa. Dengan begitu unbinding-lah beliau dari ikatan rasa cinta yang kadung mengikat kepada sang anak shaleh nabiyullah Ismail. Kini yang singgah dalam hati hanya ada satu cinta, cinta sejati, cinta abadi, cinta yang tidak pernah dimiliki kecuali dicintai-Nya. “Tidak dapat memuat zat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali 'hati' hamba-Ku yang mukmin lunak dan tenang”. (HR. Abu Dawud)
“Tiadalah cara yang paling baik bagi hamba-KU untuk mendekat kepada-KU melainkan dengan melakukan amalan-amalan wajib. Dan sungguh apabila hamba-KU juga senantiasa mendekat kepada-KU dengan melakukan amalan-amalan sunnah (di samping amal-amal wajib tersebut) maka AKU akan menyintainya. Jika AKU telah menyintainya, maka jadilah AKU pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan hatinya. Sehingga, ia akan mendengar dengan pendengaran-KU, melihat dengan penglihatan-KU, berbicara dengan lisan-KU, berpikir dengan pikiran-KU, dan bertindak dengan tindakan-KU.” (Hadist Qudsi)
Mutiara Qurban
BOOKSearch: BEST SELLER BOOKS AND HOT NEW RELEASES? monggo :) KLIK DISINI (: «« Cara mudah cari referensi pustaka
0 Komentar:
Posting Komentar