Manusia sebagai khalifah dibekali otak untuk memakmurkan kehidupan di dunia, dibekali kelamin untuk berkembang biak dan dibekali dada/hati agar dapat merasakan secara langsung akibat dari perbuatannya berupa derita atau bahagia. Dan derita atau bahagia merupakan cermin dari adanya neraka dan surga di hari pembalasan kelak.
Tak hanya itu para Rasulullah pun diutus Allah sebagai suri tauladan dengan membawa Burhan untuk membedakan mana yang gelap dan mana yang terang, mana yang buruk dan mana yang baik, agar dalam menjalani hidup sang khalifah dapat bermanfaat bagi sesamanya “khairunnas anfau’hum linnas” bahkan lebih dari itu, “inna akromakum inda’allahi atsqokum”.
Tubuh manusia tak ubahnya wadah yang dialiri gerak hidup [ruh] untuk menjadi wakil Allah di dunia. Yang namanya wadah tarpaksa atapun rela tetap saja wadah sebagai tempat menerima. Nah menerima ini kalau diibaratkan seperti sungai mengalirkan air dari hulu hingga ke hilir, mengalir dari ketinggian hingga sampai ke tempat-tempat yang lebih rendah dibawahnya yang pada akhirnya akan bermuara kelautan yang luas.
Kondisi wadah inilah yang perlu diperhatikan agar selalu dalam kondisi rela menerima kebaruan dan kekinian yang diterima oleh otaknya yang masuk melalui cerapan indera mata dan telinga yang selanjutnya dipersepsi [dirasa-rasa/dikira-kira] yang bersumber dari rekaman otaknya, lalu dibandingkan, dinilai dan dijatuhkan fonis. Ditolak karena dianggap salah atau diterima karena dianggap benar. Posisinya “benar/salah” adalah relatif tergantung dari sudut mana dan siapa yang memandangnya.
Contoh relatifnya adalah “babi itu haram untuk dikonsumsi”, kalimat ini diterima oleh orang-orang Islam karena adanya perintah untuk meninggalkannya. Namun ada juga yang menolaknya kalimat tersebut karena tidak adanya perintah yang melarangnya. Inilah yang saya maksud dengan “benar/salah” adalah relatif. Karena memang tiada kebenaran mutlak kecuali yang Maha Benar itu sendiri yang Mutlak Benarnya.
Keterpaksaan dalam menerima akan berdampak pada perubahan suasana [reciever/dada/hati/rasa] menjadi ketidak nyamanan dari sebelumnya. Inilah kenyataan yang seringkali terjadi. Alih-alih ingin berada di suasana yang nyaman tetapi karena ketidak relaan wadah dalam menerima yang di dapat malah rasa sebaliknya. Yaitu rasa prahara, rasa derita, rasa pedih, rasa kesal, rasa gundah, rasa marah dst. dan sungguh rasa-rasa itu begitu amat menyiksa alias berada dalam miniatur neraka.
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa rela menerima itu tak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak seperti mengedipkan kedua belah mata. Ya, ikuti saja pergerakan hidup dengan rela dari menerima yang satu ke menerima yang lainnya agar tidak menjadi beban bagi si wadah itu. Alirkan saja seperti air yang mengalir di sungai hingga sampai ke lautan yang luas. Maka, yang air akan bermuara ke air, yang tanah akan terurai kembali dengan tanah, yang udara akan menyatu dengan udara, dan yang asalnya dari Allah akan kembali kepada Allah.
[Al Fushshilat:11]
Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
Rela Atau Terpaksa Menerima
BOOKSearch: BEST SELLER BOOKS AND HOT NEW RELEASES? monggo :) KLIK DISINI (: «« Cara mudah cari referensi pustaka
4 Komentar:
Urun rembug mas abdul. seperti yang ditulis oleh cak mamad, kita ini ibarat wayang, apabisa wayang menolak kehendak sang dalang? rela akan melahirkan "plong" alias nyaman alias bahagia, terpaksa akan melahirkan kesakitan dan terbeban. rela berakar dari sabar dan kemudian naik menjadi khusyuk lalu ikhlas lalu ridho lalu menjadi mukhasyafah dan akhirnya bisa menjadi kekasih ALLAH.bukanlah dalam surat al fajr sudah ditegaskan Hai jiwa yang tenang."Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya".
Tidak ada alasan untuk tidak rela kalau ingin menghendaki kehidupan dan kematian yang baik. Matur nuwun. Mohon maaf kalau kurang pas.
Tulisan diatas cuma tips buat menyikapi keberagaman informasi kekinian, supaya tidak timbul derita pada rasa. Yang terkadang sampai berhari2 parahara siksanya belum juga hilang.
Kalau ingat Allah, Allah akan ingat pula kepadanya.
Kalau memanggil2 Allah, Allah akan panggil pula yang memanggil-Nya.
Namanya juga baru dipanggil. Tentunya belum tepat arah menghadapnya
Kalau sudah tepat, baru bisa bersaksi.
Kalau sudah bersaksi, maka penyaksinya lenyap.
Karena “laa ilaha illallah”
Lalu ada realitasnya si iklash = si murni = lurus, yang tidak terkontaminasi oleh pahala, oleh surga, karena hanya Allah saja tujuannya.
Lalu ada juga simbolisasi bernama si “wayang”.
Yaitu simbolisasi dari on dan off, yang ada dan yang tiada
Yang bergerak dan yang diam, yang hidup dan yang mati
Yang berilmu dan yang bodoh, yang dengar dan tuli.
Yang menerima dan yang memberi.
mas abdul...background blog dibuat warna terang saja seperti dulu. soalnya kalau hitam jadi berat membacanya.. hanya kasih masukan saja.
trima kasih mas Tohar sarannya, insyaallah warnanya bakal disesuaikan.
Posting Komentar