Menuju Syukur

Bersyukur buat orang-orang seperti kita mungkin baru sebatas pada keadaan yang enak-enak saja. Tapi tidakkah kita perhatikan bahwa hidup di dunia ini pasti akan bertemu dengan siang dan malam, terkadang terasa manis, kadang juga rasanya pahit. Tidaklah mungkin seseorang hidup dapatnya malam terus atau siang terus, manis terus atau pahit terus. Bilamana saat gilirannya datang, kita bertemu dengan keadaan yang tak enak, dan pahit rasanya, maka mungkinkah kita masih bisa bersyukur?

Bersyukur atas keadaan yang enak itu biasa-biasa saja, karena memang keadaannya lagi enak dan gak ada yang dianggap masalah, maka sudah sewajarnya dan wajar-wajar saja kalau kita bisa mengucapkan terima kasih dengan fasih atau alhamdulillah sekalipun. Tetapi akan jadi luar biasa bila keadaan tidak enak menyinggahi, tapi kita bisa bersyukur. Lho kok bisa? Ya bisa saja, karena memang bersyukur itu tidak akan rugi, dan lagi pun tidak ada sejarahnya yang mengatakan bahwa ada orang merugi gara-gara bersyukur.

Demi masa [1]. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian [2]. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. [3] {al-‘Ashr:1-3}

Orang-orang yang beriman pasti bersyukur, mengapa? Karena mereka tahu dan merasakannya bahwa tidak akan pernah ada di kolong jagat raya ini yang bisa menurunkan ketenangan ke dalam hati, kecuali hanya Allah saja. Dan mereka akan sangat merasa malu sekali kepada Allah bila tak bersyukur. Karena rasa malu mereka adalah bagian dari iman mereka. Itulah ciri khasnya orang-orang yang beriman kepada Allah, yaitu punya rasa malu kepada Allah. Kemudian bila disebut nama Allah, hatinya orang-orang beriman bergetar, lalu menjadi tenang karena diturunkan ketenangan ke dalamnya.

[dikasih enak, nikmat, bahagia, tenang, tentram, kok... enggak mau bersyukur... jadi kita ini maunya apa? kok berani-beraninya kita dustai nikmat-nikmat-Nya? bukankah kita tahu akibatnya? KONTAN! tidak enak, tidak nikmat, tidak bahagia, tidak tenang, tidak tentram, dst.]

Salah satu sikap yang harus ditanam menuju bersyukur kepada Allah adalah sikap merasa untung, beruntung atau diuntungkan, pokoknya semua yang tidak terdefinisi oleh diri kita sebagai rugi, merugi atau dirugikan. Karena yang rugi, yang merugi atau yang dirugikan, jelas tidak enak, jelas tidak nikmat, tidak bahagia, tidak tenang, tidak tentram, dst.

Merasa rugi sebenarnya menjauhkan diri kita dari kesyukuran, karena dengan bersikap seperti ini sama saja kita sudah mendustai nikmat-nikmat Nya yang tak terhitung jumlah bilangan beserta uriannya.

Mari, kita coba buka jendelanya agar kita dapat melihat keluar sana, yang luas, yang sangat luas, yang mungkin belum pernah terlihat oleh mata, terdengar telinga, dan terasakan oleh rasa kita. Mungkin lho..., karena kadang untuk membuka jendela saja susah banget. Ya.. sudahlah. Kita mohon saja rahmat Nya, amin.

Untuk menjawab pertanyaan diatas. Enaknya kita gunakan ilustrasi. Semisal kecopetan. Dompetnya raib dari kantong celana saat di mall. Pemiliknya tersadar saat public information memberitakan temuannya melalui pengeras suara. Singkatnya, dompet diambil kembali oleh pemiliknya dan ternyata uangnya telah melayang. Meski raib uangnya, pak tua itu berucap ”alhamdulillah untung ktp dan sim-nya tidak ikut hilang”.

Bila arah pikir kita tertuju kepada sesuatu yang hilang maka jelas kita akan merasakan kehilangan. Dan bila raibnya uang itu diartikan sebagai rugi maka kita pun akan berada di suasana rasa seperti itu. Semestinya hilang ya hilang saja, jangan ditambah-tambah artinya, karena semakin banyak tautannya kita akan semakin tersika dibuatnya.

Seperti gelap ya gelap saja, jangan diartikan jadi seram, horor, takut dan seterusnya. Manakala kita terlanjur mengartikan gelap seperti diatas, maka jangan heran saat bertemu dengan gelap kita akan merasakan seram, jadi horor, takut dan seterusnya. Ini namanya dipermainkan oleh pikirannya sendiri, ada orang bilang terhipnotis oleh dirinya sendiri.

Ungkapan pak tua adalah ungkapan tersirat dan bukan tersurat. Pak tua hanya mau memandang yang selalu ada, yang tidak akan hilang, yang tidak akan musnah, yaitu wajah Nya, ”inni wajjahtu wajhia lilladzi fathoros samawati wal ardo hanifa”. Orang-orang yang macamnya seperti pak tua ini yang bakal dikasih keuntungan oleh Allah. Karena wajah kesadarannya selalu hadir menghadap kepada Wajah Abadi dengan selurus-lurusnya.

Sehingga apa pun kejadiannya, pak tua bisa dengan rela dan merelakan apa pun ketentuan Nya. Karena kerelaan bagi pak tua adalah nikmat, maka baginya pula tiada rasa sakit meski tampak tersakiti. Jika semuanya sudah menjadi nikmat, maka apapun ketentuan Nya akan menjadi nikmat pula.

Jadi, kebersyukurannya pak tua bukan karena ktp dan sim tidak hilang, akan tetapi karena nikmatnya Allah yang diturunkan lewat kejadian itu. Alhamdulillah.

BOOKSearch: BEST SELLER BOOKS AND HOT NEW RELEASES? monggo :) KLIK DISINI (:   ««  Cara mudah cari referensi pustaka

Related Post



0 Komentar:

Posting Komentar

 
 

POPULAR Detak Hidup

KOMEN Detak Hidup

BACA Detak Hidup

 

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner